Udara masih basah meski matahari
menggantung di cakrawala. Musim dingin sudah hampir di penghujung, memberi
jalan kepada musim semi yang sebentar lagi siap bertugas.
Cheung Chau, sebuah pulau kecil itu
sedang bersiap menyambut Tahun Baru Cina 2015 yang akan datang kurang dari dua
minggu. Seperti kota-kota lainnya di Hong Kong, Cheung Chau sibuk merias diri
sejak awal Januari. Lampion-lampion bergantungan di setiap pohon, dan tiang
lampu. Bola merah itu bergantungan di bibir pelabuhan. Lukisan ikan koi
menggantung pada setiap dinding pertokoan dan rumah makan. Bunga-bunga pun
turut memajang kecantikan mereka pada rangkaian vas di motel, homestay, pintu
utama supermarket dan lobi hotel.
Sebuah angsa besi berwarna oranye
perlahan merayap ketepian. Suara peluit angin terdengar gagah, merobek pagi
yang cerah. Seorang perempuan berambut sebahu, berkulit hitam manis, matanya
bulat dengan hidung tidak terlalu mancung berlari menuju pintu utama pelabuhan.
Perkerjaan rutin yang sudah ia lakoni selama dua tahun terakhir. Perkerjaan
yang membuatnya semakin terluka.
“Sampai kapan menunggu? Padahal kau
tahu bagaimana yang kau tunggu,” ujar seorang laki-laki berkaca mata yang
berdiri di kananya. Kemudian berlalu tanpa perlu mendengar jawaban perempuan
ayu itu.
***
November, 2012
Mandy baru saja selesai mencuci
mangkok bekas sarapan ketika Jayden berdiri di pintu dapur. Laki-laki itu
terlihat rapi dengan kemeja biru muda serta jeans hitam. Rambut hitamnya pun sudah
tersisir rapi.
“Kita berangkat, Mandy?”
“Beri aku waktu lima menit untuk
mengganti celanaku!” ujar Mandy meninggalkan dapur.
Dengan kesit Mandy menyambar celana jeansnya
yang tergeletak di bibir ranjang. Sementara Jayden, matanya menyisir deretan rak
sepatu milik istrinya. Bibirnya membentuk bulan sabit saat jemarinya menyentuh
sepasang sepatu cokelat mentah.
“Pakai sepatu ini, ya!” pintanya
lembut kepada Mandy yang sudah berdiri di belakangnya.
Perempuan itu tidak dapat menolak
permintaan suaminya. Sepatu tipis tanpa hak itu adalah sepatu bersejarah.
Terdapat sebuah pita yang membentuk kupu-kupu di ujungnya. Sepatu sederhana
yang menyempurnakan penampilan Mandy Ho pagi ini.
Gerimis masih membungkus lautan
ketika peluit angin melengking. Jayden dan Mandy menuju pelabuhan dengan
sedikit berlari. Angsa besi yang memiliki nama First Ferry itu akan membawa
mereka ke Hong Kong Island. Hari ini, Jayden tak hanya meninggalkan Cheung
Chau, laki-laki itu akan meninggalkan perempuannya dan Hong Kong. Bersama dua
sahabatnya, Jayden akan terbang ke Taiwan untuk beberapa bulan.
Peluit angin kembali menjerit,
seruan kepada calon penumpang bahwa ferry akan segera berlayar. Jayden dan
Mandy memilih duduk di deretan ketiga dekat jendela di lantai dua. Seperti halnya
sepasang kekasih yang baru resmi jadian, keduanya begitu mesra. Mandy
meletakkan kepalanya di dada bidang laki-lakinya, tangan kiri Jayden merangkul
lembut bahu perempuannya. Tangan mereka saling menggenggam.
“Jika rindu tengah menyapamu,
nyalakan saja melody box ini.”
Mandy meraih melody box itu dari
tangan Jayden. Ia berdecak kagum menatap sepasang boneka di dalam box itu.
sepasang kekasih mengenakan gaun pengantin tengah duduk di atas daun momiji
yang berserak. Mereka duduk membelakangi ukiran nama berwarna emas, J & M
(Jayden & Mandy).
“Jangan diputar di sini!” Jayden
meraih kembali box itu dari tangan istrinya. “Dia tidak memiliki lubang handfree, Mandy.”
Perempuan itu mengangguk, berusaha
mengerti dengan rasa kecewa yang sudah berhasil menyelinap ke relung hatinya.
Rasa itu mengambil posisi di tempat yang sama dengan gelisah yang sejak semalam
sudah bertandang.
“Kamu pasti kembali sebelum Tahun
Baru Cina, kan?”
“Aku tak akan kembali jika wajahmu
tetap seperti itu,” goda Jayden yang menyadari raut wajah istrinya berubah saat
ia melarangnya membuka melody box.
Mandy hanya mendengus kesal. Ia
membuang pandangnya. Sementara angsa besi merayap semakin jauh meninggalkan
pulau Cheung Chau, semakin dekat dengan Central Pier. Gedung-gedung pencakar
langit semakin jelas terlihat, angsa-angsa besi berjejer rapi menaik-turunkan
penumpang dari dan ke pulau berbeda.
Sepuluh menit kemudian, peluit angin
melengking lagi. Memberitahukan kepada penumpang bahwa telah sampai di
Pelabuhan Hong Kong. Gelisah di hati Mandy semakin menjadi, ia merasa kepergian
suaminya tak akan kembali.
Permukaan laut beriak. Ferry merapat
anggun ke pelabuhan. Suasana hening selama lima puluh lima menit mendadak
berubah menjadi gaduh. Orang-orang berdesakan menuju pintu keluar. Para petugas
berteriak agar penumpang berhati-hati dan jangan berdesakkan.
Jayden berdiri dari duduknya. Ia
meraih tangan Mandy seraya mengangguk pelan. Anggukan seorang suami yang
meminta istrinya untuk percaya padanya. Anggukan yang mewakili kalimat yang
tersembunyi di lubuk hatinya.
Setelah kembali menginjak bumi, Jayden
menuntun istrinya menuju taxi stand
yang berada di seberang pelabuhan. Sedan merah itu pun merayap dengan halus
menuju Chek Lap Kok, Hong Kong International Airport.
Sepanjang perjalanan Jayden
mendengangkan sebuah lagu cinta ‘yat sang yat sai’. Sebuah lagu yang telah
menjadi penghuni melody boxnya tadi. Lagu yang menyatakan perasaannya, sehidup
semati.
***
Setahun berlalu. Selama itu
hari-hari yang Mandy lalui tak lagi sama. Sering ia menutup toko souvenirnya
lebih awal, kemudian menghabiskan sisa waktunya di sepanjang San Hing Praya
Street.
Adakah
yang lebih menyakitkan daripada dikhianati oleh orang terkasih? Jayden telah
mengingkari janjinya. Jangankan pulang untuk merayakan Tahun Baru Cina bersama,
sepucuk kabar pun tak pernah ada.
Ada apa
denganmu Jayden? Dimana dirimu?
Lirihnya.
“Kamu
sudah makan, Mandy?” sepotong tanya membuat perempuan itu menghentikan
langkahnya dan menoleh ke belakang.
“Sudah.”
Ping-ping,
sahabat Mandy berdarah Tiongkok itu selalu menyempatkan diri menemaninya.
Keduanya melangkah, menyisir San Hing Praya Street yang tak pernah sepi.
Puluhan kaki saling berlomba menuju restaurant dan café terbuka. Denting sumpit
dan mangkok menyaingi gelak tawa pelancong dari negara tetangga.
Toko-toko
souvenir terlihat lebih anggun dengan hiasan lampu dinding yang menyala.
Beberapa pegawai homestay pun masih
sibuk menawarkan jasa penginapan. Langkah Mandy tertahan, ia berdiri mematung
tepat di depan Moroccos’ Café. Sebuah lagu berhasil menggerakan duri yang
tertancap di ulu hatinya. Menambah perih baru yang dengan cepat menyebar luas
ke permukaan hati. Ia mengeluarkan melody box dari dalam tas, mengelusnya
dengan mata nanar.
“Ping-ping,
Kakakmu tidak cerita apa-apa tentang Jayden?”
Ping-ping
menarik napas dalam. Sebenarnya ia tidak tega melihat sahabatnya tersiksa
dengan keadaan seperti ini. Ia juga tidak sanggup jika harus menceritakan apa
yang terjadi pada Jayden.
Ping-ping
menuntun Mandy menuju kursi kayu yang menghadap ke laut. “Setahuku, Wong Sang,
Jayden dan Kenny berpisah di bandara. Mereka tidak ditugaskan di perusahaan
yang sama.”
“Setahun-tanpa
kabar-tidak pulang,” bisik Mandy.
Pandangannya
lurus menembus malam. Membuat angin berhenti berhembus, menghentikan
kapal-kapal nelayan bergoyang.
“Kenapa
Jayden tidak kembali bersama mereka?”
Mandy
menyandarkan kepalanya di pundak Ping-ping. Melody dari box mengalun, menyusup
ke kedalaman hatinya. Suara lembut kekasihnya kembali berhasil menjatuhkan buliran
salju bening dari matanya yang tak lagi bercahaya.
“Lupakan
Jayden! Dia tidak akan kembali untukmu, Mandy. Tidak akan!”
Ping-ping
merebut melody box dari dekapan Mandy. Membuangnya ke laut.
***
Januari, 2015
Sudah
hampir satu jam Mandy berdiri di depan pagar yang bertuliskan ‘Lock of Love’. Matanya
tertuju pada sebuah gembok berwarna biru yang bertuliskan namanya dan Jayden.
Mereka membuatnya malam hari sebelum Jayden meninggalkan Cheung Chau. Dengan
keyakinan yang sama seperti pasangan-pasangan lainnya. Mengunci hati mereka
agar tetap setia pada satu hati. Sebuah keyakinan agar tidak terpisahkan.
“Aku
ada sesuatu untukmu,” Ping-ping menuntun Mandy tanpa menunggu jawaban dari
bibir sahabatnya.
Setelah
berjalan sepuluh menit, mereka sudah berada di lantai dua rumah Mandy. Angin
malam dengan bebas masuk melalui pintu kaca yang sengaja dibuka lebar. Dengan
ragu, Ping-ping menyerahkan sebuah melody box yang serupa dengan box yang ia
buang kepada Mandy.
Ping-ping
menekan tombol power dan meletak box itu di atas meja. Seketika angin berhenti
berhembus. dari box itu mengalun lagu yang sama, lagu favoritnya. Sayang, suara
itu bukan suara Jayden. Bukan suara yang terbuang, hilang di dasar laut.
Kenangan-kenangan
lalu satu per satu mengambang. Salju bening yang bersikokoh bertengger di sudut
matanya mulai berjatuhan. Luka menyeruak, ketegaran terkikis. Dengan sekali
gerakan melody box jatuh, pecah.
“Melody
itu tidak akan terganti!” pekiknya dalam gugu.
Mandy
Ho meringkuk di atas pembaringan, telepon genggamnya meluncur pelan dari
telapak tangannya yang terkulai. Setelah hampir sinting menanti telepon yang
tak pernah kunjung berdering menyampaikan kabar kekasih hatinya.
Mandy merasa telah kalah pada
harapan dan lelah berkubang pada penantian. Hatinya telah melepuh oleh cinta
yang berkhianat.
Tak ada yang bisa dilakukan
Ping-ping selain meninggalkan sahabatnya seorang diri. Seperti yang iya
takutkan, Mandy tidak akan baik-baik saja ketika mengetahui suaminya bersama
perempuan lain.
***
Cerpen ini ditulis untuk mengikuti seleksi Kampus Fiksi 2015-2017. Dan, Alhamdulillah tembus dan lolos seleksi. (KF angkatan 23)